PESAN TERAKHIR
IBU
Ketika
malam kian larut hingga terbuai menyambut pajar. Terdengar lantunan panggilan
suara merdu dari arah barat bilik kamar Nasya yang seakan memberi isyarat menyuruh
untuk membangunkannya dan segera beranjak memenuhi panggilannya. Suara ayam
berkokok bersahut-sahutan seakan tak mau kalah dari suara apapun.
Percikan
embun yang memberikan kesejukan dari setiap tetesnya. Mentari pun mulai
menampakkan sinarnya perlahan-lahan hingga benar-benar memberikan kehangatan di
pagi hari serta kerasnya suara bising setiap kendaraan yang lewat menandakan pagi
telah tiba dan siap menjemput rezeki.
Di
sebuah rumah kecil berukuran tak lebih dari 16 m² merupakan tempat berteduh Nasya
dan Ibunya. Rumah sederhana itu menjadi tempat tumpuan kasih sayang Ibu dan
anak yang sejak beberapa tahun silam di tinggal ayahnya meninggal dunia karena
sakit paru-paru yang di deritanya. Kini Ibunya menjadi pencari nafkah untuk
gadis semata wayangnya yang sekarang sedang kuliah di Universitas Negeri.
Pagi telah tiba, Ibu menyambut
pagi dengan suka cita sembari menyiapkan perlengkapan dagangan gorengannya untuk
berjualan di depan rumahnya. Tak terlihat raut muka yang suram yang nampak
hanyalah senyuman dari bibir Ibu ku tersayang. Nasya keluar dari bilik kamarnya
usai menjalankan sholat subuh di sambut dengan tatapan penuh harap dan senyum
keikhlasan oleh Ibu.
“Sudah bangun nak?”
“Iya bu”
“Sudah sholat”
“Alhamdulillah bu Tuhan memberikan ku
nikmat kesehatan untuk bersujud padanya” sambil menatap kedua mata Ibunya.
“Alhamdulillah Nasya, Ibu bangga
mendengarnya, teruslah memohon padanya dengan hati ikhlas” membalas tatapan Nasya
hingga tampak mata Ibu berkaca-kaca seolah tak akan menampakkan kesedihannya. Dalam
hati Ibu aku menyayangimu.
“Iya, suatu saat Ibu akan bangga dengan Nasya”
sambil menatap Ibunya dengan senyum di balik pengharapan dan impiannya.
“Nasya bantu ya bu menyiapkan perlengkapannya”
Sambil menyiapkan perlengkapan dagangan
gorengannya. Tak biasanya Ibu menggoreng
sembari melamun. Sepertinya ada yang disembunyikan dari Nasya dan tak
ingin Nasya mengetahuinya.
“Gorengannya gosong bu, Ibu sedang
mikirin apa, cerita sama Nasya bu!”
“Tidak nak, Ibu tidak melamun dan tidak
sedang mikir apa-apa, yang Ibu ingin suatu saat kamu akan menjadi anak yang
sukses dan membuat Ibu bangga”
“Aamiin bu, semoga gusti Allah mendengar
doa kita ya bu”
Keduanya saling berpelukan merangkul
hangat dekapan kasih sayang Ibu dan anak.
øøøø
Mentari perlahan kian terangnnya,
memberikan sinarnya seluruh penjuru bumi tepat diatas kepala. Semua orang
bergegas mencari tempat berteduh melepaskan kelelahan. Beranjak sejenak untuk
beristirahat lalu kembali menyongsong rezeki. Nampak dari kejauhan seorang Ibu meletakkan
dagang gorengan di sebuah Mushola yang
ada di kampus tempat Nasya kuliah untuk menunaikan sholat dzuhur dititipkan
pada seorang gadis yang sedang duduk di Mushola itu. Sepertinya Ibu itu ingin sejenak mengurangi sedikit rasa
lelahnya karena berjualan keliling.
Seketika itu juga Nasya
teringat pada sosok Ibunya yang pekerjaan sama dengan Ibu yang menitipkan
jualannya di Mushola tersebut. Nasya mulai terenyuh dengan sosok Ibunya kemudian
terlintas dipikirnya ingin menemui Ibu penjual gorengan di mushola itu. Ketika
hendak memanggil Ibu itu terdengar dari arah belakang ada memanggil-manggil
nasya. Kemudian nasya menoleh, ternyata nasya di panggil teman sekelasnya bahwa
perkuliahan akan segera di mulai dan dosennya sudah hadir di kelas. Niat hati
untuk menemui Ibu itu pun di urungkan oleh jam mata kuliah yang telah tiba dan
saat belajar untuk meraih mimpi dan kesuksesan.
Ibu yang beristirahat
sejenak di Mushola itu kini sudah pergi kembali menjemput rezeki. Di bawah
terik matahari Ibu tetap berjualan dengan penuh semangat tak peduli keringat
membasahi seluruh tubuhnya. Sesekali Ibu memegang perutnya yang terasa sakit
dan nampak buncit. Ibu menyembunyikan perut yang buncit itu dengan pakaian yang
besar hingga tak ada yang mengetahui bahwa Ibu itu menyembunyikan perutnya
sekalipun Nasya anaknya.
Sementara itu, Nasya yang
merupakan seorang mahasisiwi yang terbilang cerdas di antara teman-temannya dan
seorang yang ramah sehingga banyak teman yang suka padanya. Usai perkuliahan Nasya pulang menuju rumah yang sederhana. Tiba-tiba
dari arah belakang terengar suara memanggil:
“Nasya…Nasyaaaa”
Nasya menoleh dan mencari dari arah mana
suara itu datang?.
“Hai…Eccy”
“Mau kemana”
“Pulang”
“Nasya tadi tidak sholat di Mushola”
Tanya Eccy
“Kenapa?, saya tadi sholat di ruang
dosen” jawab nasya
“Saya tadi ketemu Ibu penjual gorengan
di mushola, kasihan dengan Ibu itu, meskipun perutnya sakit tapi masih sempat
berjualan keliling demi anaknya yang masih sekolah katanya. Seandainya saya
punya uang lebih saya berikan dengan Ibu itu jika saya lihat dia di mushola
kembali”. Ujar Eccy
“Nasya
terdiam dan pikirannya mulai tertuju pada sosok Ibunya. Apa mungkin Ibu yang di mushola itu adalah Ibu,
meskipun dia Ibu tapi Ibu sehat-sehat saja. Ibu tidak pernah berjualan dikampus
Nasya, Ibu selalu berjualan di depan rumah. Tapi dari kejauhan tadi memang
mirip Ibu. Mungkin Ibu.. Ah tapi gak mungkin!” pikir Nasya dalam hati.
“Nasya kenapa bingung” pangggil Eccy sambil
mumukul bahu Nasya.
“Tidak…saya tidak bingung” jawab Nasya
“Ya sudah, arah rumah kita berlainan
saya duluan ya” kata Eccy
“Iya hati-hati”
Dari
arah kejauhan sudah tampak rumah sunyi berpenghuni. Semakin dekat dan akhirnya Nasya
tiba di depan rumah. Nasya melihat sebuah keranjang kue terletak disudut teras
rumahnya pertanda Ibunya sudah pulang ke rumah dan biasanya jualannya juga
sudah ludes terjual. Sesampainya dirumah Nasya mengetuk pintu berulang-ulang,
namun pintu juga tak kunjung di buka. Sesekali Nasya mengucap salam namun tak
nampak sahutan salam dari dalam rumah.
Dengan sedikit kesal di hati tapi Nasya langsung tersadar mungkin Ibu sedang tidur lelah di dalam sehingga tak membukakan pintu untuk
Nasya. Kemudian Nasya membuka sendiri pintu rumahnya, ternyata pintu tidak
dikunci dan Ibu sedang tidur di kamar.
Melihat
Ibunya yang sedang tertidur pulas di sore hari yang temaram. Nasya memandang
Ibunya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sambil mengusap lembut rambut Ibu yang
masih hitam belum berubah menjadi putih dimakan usia menunjukkan bahwa Ibu masih
muda untuk menjadi tulang punggung keluarga namun harus menghadapi kenyataan hidup. “Suatu saat Nasya akan membahagiakan Ibu
dengan kesuksesan”. Pikir Nasya dalam hati.
Langit
yang mulai merubah warnanya, berubah menjadi kegelapan. Tak ada sinar mentari
yang menghangatkan. Dengan perlahan digantikan oleh sinar rembulan penuh. Siang
yang begitu cerah kini berubah menjadi malam yang redup di hiasi cahaya bintang
yang bertebaran menghiasi langit.
Malam
ini indah sekali. Bintang menunjukkan cahayanya seolah berkata inilah aku
bintang kehidupan mu. Dari sebuah jendela kamar Nasya menatap malamMemandang bintang-bintang
seolah penuh harap. Seandainya Nasya seperti bintang. Bintang kehidupannya Ibu kelak.
Tak ada yang lebih baik dari apapun selain menjadi bintang kehidupan bagi Ibu.
Malam
semakin larut seperti halnya Nasya larut dalam keindahan malam hingga tanpa
terasa Nasya tertidur pulas di sudut jendela kamarnya. Udara dingin menyelimuti tubuhnya.
Nyamuk-nyamuk bertebangan mengelilinginya tapi Nasya pun tak jua terjaga dari
tidurnya hingga seruan adzan subuh
membangunkannya.
øøøø
Hari demi hari, bulan
berganti tahun. Ibu Nasya masih tetap berjualan gorengan demi menyekolahkan Nasya
meraih mimpi. Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Nasya dan
teman-temannya, hari dimana Nasya akan diwisuda setelah empat tahun duduk di
bangku kuliah. Akhirnya Nasya bisa wisuda dengan IPK yang memuaskan 3,35. Yang Nasya
pikir akan cukup membanggakan Ibunya.
Bahagianya Nasya hari
ini juga di rasakan oleh Ibunya yang mendampingi Nasya saat wisuda. Duduk bersama,
berdampingan saat wisuda adalah mimpi Nasya yang akhirnya didengarkan oleh
Tuhan. Nasya menyalami, mencium tangan dan kening Ibunya serta memeluk erat Ibunya
seakan tak mau dipisahkan oleh waktu dan siapapun. Saat hendak melepaskan
pelukan hangat itu, Nasya berbisik pada Ibunya “Ibu , kau adalah harta terindah
ku, gelar sarjanaku saat ini adalah karya mu, dan aku akan membahagiakan Ibu”. Ibu
hanya terdiam menatap lembut wajah anaknya dengan tatapan mata yang
berkaca-kaca. Seakan berbicara pada mata jangan kau keluarkan tetesan air mata
mu duhai mata. Butiran air mata tak mampu membendung derasnya desakan hati
hingga mengalir begitu saja.
Suara lembut itu
akhirnya berbisik pada anaknya dengan suara parau menahan tangis.
“Jaga dirimu baik-baik nak dan gunakan ilmu dengan baik”. Seketika itu juga Ibu jatuh pingsan sambil mememang perutnya.
“Jaga dirimu baik-baik nak dan gunakan ilmu dengan baik”. Seketika itu juga Ibu jatuh pingsan sambil mememang perutnya.
“Ibu… bangun bu..Ibuuuuu…” teriak Nasya
sambil menahan tangis
“Tolong…tolooong” teriak nasya
Seluruh peserta
wisudawan wisudawati menoleh kearah suara teriakan Nasya, Semua orang terkejut
melihat Ibu Nasya jatuh pingsan saat upacara wisuda sedang berlangsung. Tanpa
terkecuali seluruh staf serta para dosen ikut menoleh kearah mula suara
teriakan itu terdengar. Tak lama kemudian Ibu nasya dilarikan ke rumah sakit
terdekat. “Ibu lebih penting dari apa pun. Wisuda itu tak penting yang paling
penting adalah nyawa Ibu” tangis Nasya.
Ibu dilarikan ke rumah
sakit dengan sebuah mobil pribadi milik salah satu dosennya. Suara tangisan pun
tiada henti mengiringi laju mobil dengan kecepatan tinggi. Di tengah perjalanan
Ibu tersadar dari pingsannya dan langsung menoleh ke arah Nasya. Dengan suara
lemah Ibu berkata, “ Nasya sebenarnya Ibu menderita sakit tumor pada rahim Ibu dan
Ibu selalu berusaha menyembunyikannya dari Nasya. Ibu takut Nasya khawatir”.
“tidak Ibuuu!!!, kesehatan Ibu lebih
penting, kenapa Ibu baru kasih tahu sekarang?”
Dengan suara terbata-bata seolah Ibu
akan menyampaikan sesuatu. tak sempat mulut berbicara mata Ibu kian mengecil
dan menutup secara perlahan. Di iringi isak tangis yang semakin deras mengantar
kepergian Ibu untuk selama-lamanya.
Innalillahi
wainnailaihi roji’un.
Sakit
yang menahun selalu disembunyikan demi anaknya. Tak pernah mengeluh di hadapan
anaknya. Dia selalu memberi semangat pada anaknya. Tiada seorang ibu yang jahat
terhadap anaknya. Sungguh kau wanita luar biasa di dunia. Jaga dirimu baik-baik nak dan gunakan ilmu dengan baik adalah pesan
terakhir Ibu kepada Nasya.
The end
Karya
jemari sendiri yang menjelajahi setiap
angka dan huruf pada keyboard Laptop ku. CERPEN PERDANA
Tiniii. Alurnya udah cantik, ^_^ cuma cerpennya masih berasa kaku. Ayo belajar untuk lebih "luwes" lagi nulisnya.. ^_^ Cara untuk menghasilkan tulisan yang baik adalah banyak-banyak baca bacaan pendukung ^_^ banyak2 baca cerpen2 yang terbit di koran2, atau kumcer penulis terkenal... input yg bagus akan menjadikan output yang baik pula.. Semangat belajar. Kasih jempol karena udah berani menaklukan diri yang merasa tidak bisa menjadi bisa membuktikan bahwa Tini bisa nuliiiisss.. ^0^
BalasHapus